Ustaz Fariq Gasim
Sering kita mendengar orang menceritakan kebaikan dirinya atau bahkan mungkin pelakunya adalah diri kita sendiri. Apakah ini tindakan terpuji atau tercela?
Orang yang menceritakan tentang kebaikan dirinya bisa jadi karena ingin menceritakan nikmat Allah yang ia peroleh dan untuk memotivasi orang lain agar mengikutinya maka ini merupakan tujuan terpuji.
Allah SWT berfirman yang artinya, "Dan terhadap nikmat Rabbmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)" (Surah Adh Dhuha 11)
Ada juga orang yang menceritakan kebaikan dirinya untuk maslahat agama seperti amar makruf nahi mungkar, memberi nasehat, menghindarkan dari suatu kerugian atau bahaya, untuk meyakinkan bahwa ia mampu menunaikan amanat yang akan ia tunaikan maka hal ini merupakan perbuatan terpuji.
Seperti Sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, "Saya yang paling mengenal Allah diantara kalian dan saya orang yang paling bertakwa diantara kalian…"
Jika ia menceritakan kebaikan dan memuji dirinya karena menganggap diri suci dan pamer kepada orang lain untuk kebanggaan maka perbuatan ini berbahaya karena dapat mengakibatkan terhapusnya amal kebaikan tersebut.
Allah berfirman yang artinya, "Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa" (Surah An Najm 32)
Menganggap diri suci dan bersih termasuk penyakit hati yang berbahaya. Ia akan memuji diri dan menganggapnya lebih baik dari orang lain, timbul kesombongan yang mengakibatkan akan menolak kebenaran dan merendahkan manusia.
Jika ada orang memuji orang lain, ia tidak suka dan sempit dadanya, bahkan ia menginginkan hilangnya kenikmatan dari orang lain. Penyakit ini sering diderita oleh para pejabat, orang-orang kaya, pemuka masyarakat, ilmuwan/kaum intelektual, kaum ningrat/berdarah biru dan lainnya.
Penyakit yang berbahaya ini mungkin pula menjangkiti ulama, ustadz, mubaligh, khatib, atau dai/aktivis dakwah jika mereka tidak menjaga hati. Penyakit ini dimiliki iblis dan Fir'aun.
Allah berfirman menceritakan tentang ucapan Iblis yang artinya, "… (Iblis) menjawab, 'Aku lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia, Engkau ciptakan dari tanah." (Surah Al A'raaf 12) dan ucapan Fir'aun yang artinya, "Bukankah aku lebih baik dari orang (Musa) yang hina ini…" (Surah Azzukhruf 52)
Orang mukmin berakhlak mulia, ia rendah hati, menganggap orang lain lebih baik darinya. Ia sibuk mengingat-ingat dan menghitung-hitung aib serta kekurangan dirinya guna mengevaluasi dan memperbaikinya.
Ia tidak sibuk dengan aib orang lain, jika ia dapatkan aib dari saudaranya maka ia sayang dan cinta kepadanya menginginkan kebaikan saudaranya sehingga ia tidak mendiamkannya tetapi memperbaikinya dan meluruskannya dengan cara yang baik dan bijaksana. Ia selalu mendoakan kebaikan untuk saudaranya.
Jika kita dapatkan sahabat radhiallahu anhum, tabi'in dan orang-orang shalih memuji diri mereka sendiri dengan menyebutkan keutamaan amal mereka, maka kita bersangka baik, mereka sedang menyebutkan nikmat Allah sebagai rasa syukur dan bermaksud memotivasi bukan kesombongan.
Kita harus selalu memperbaiki hati agar selamat dari penyakit sombong, ujub, hasad, riya, bersangka buruk, gila hormat dan penyakit hati lainnya.
Bersihkan hati kita dengan mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, hiasi hati kita dengan rendah hati, cinta kepada Allah, takut adzab-Nya, berharap akan rahmat-Nya dan akhlak mulia lainnya.
Sumber