Oleh Ina Salma Febriany
“Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (Qs Al-An’aam: 160)
Bagai dua sisi mata uang, kehidupan manusia juga diliputi dua hal. Adakalanya suka, juga duka. Terkadang tertawa, dalam kesempatan lain menangis. Termasuk juga dalam hal perbuatan. Berpusat dari hati dan keimanan, manusia berpotensi untuk berbuat baik dan tidak baik. Manusia dapat konsisten dengan perbuatan baikya, jika kondisi iman sedang bertambah.
Namun dalam kesempatan lain, manusia juga dapat berbuat yang tidak baik dan cenderung menguruti hawa nafsunya. Dua sisi kepribadian manusia inilah yang sejatinya menjadi ‘ibrah dalam momen isra mi’raj disini. Perihal isra mi’raj, Allah Swt telah mengungkapkannya dalam surah Al-Isra.
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs Al-Israa’: 1)
Sesuai dengan nama surah di atas, Al-Israa, yang berasal dari kata ‘saroo’ yakni berjalan, Allah Swt memberikan definisi secara tersurat perihal Israa yang berarti perjalanan Rasulullah Saw dari masjidil haraam ke masjidil aqsha. Sedangkan mi’raj ialah proses naiknya Rasulullah dari langit pertama hingga sidratul muntaha. Perihal mi’raj sendiri, Anas bin Malik. dalam hadits shahih Bukhari dan Muslim, mengungkapkan secara detail tentang peristiwa isra dan mi’raj.
Dalam hadits tersebut, Anas bin Malik mengungkapkan pertemuan Rasulullah saw dengan beberapa para Nabi dari langit pertama hingga ke tujuh. Dari Nabi Adam, hingga Nabi Ibrahim as. Semua mengucap salam penghormatan kepada Rasulullah Saw. terlebih Nabi Musa as. Pertemuan dengan Nabi Musa ini sempat menghadirkan sebuah dialog yang unik.
Proses ‘penerimaan’ perintah shalat (yang awalnya) 50 waktu, disarankan Nabi Musa untuk mengajukan pengurangan. Maka Nabi Muhammad kembali kepada Allah dan shalat berkurang lima waktu. setelahnya, Nabi Musa masih menganggap 45 waktu itu masih terlalu banyak, lantaran beliau pernah menyuruh Bani Israil dan mereka pun lalai menjalankannya.
Rasulullah Saw pun akhirnya memohon keringanan lagi pada Allah. Hingga Rasulullah Saw mengungkap dalam akhir hadits ini ‘Qad roja’tu ilaa Rabby, hatta-s tahyaitu minhu- Sungguh aku telah bolak balik pada Tuhanku, hingga aku malu,”.
Makna ‘malu’ yang Rasulullah maksud ini adalah bahwa—di akhir hadits ini, Allah mengklarifikasi tujuan dari disyariatkannya 50 waktu shalat yang berarti, ‘setiap shalat fardhu diganjarkan dengan sepuluh ganjaran. Oleh karenanya berarti lima waktu shalat fardhu sama dengan 50 pahala.
Begitu juga siapa yang berniat baik maka dicatatlah satu kebaikan untuknya. Jika dia melakukannya, maka sepuluh pahala baginya. Dan siapa yang berniat berbuat jahat, tapi tidak melakukannya, niscaya tidak satu kejahatan dicatat baginya. Seandainya dia mengerjakannya, maka dicatat satu kejahatan saja baginya.
Hadits ini diperkuat oleh firman Allah dalam surah Al-An’aam ayat 160 di atas, bahwa betapa baiknya Allah yang selalu menimbang pahala dengan ganjaran yang besar atas setiap niat berbuat baik. Saat manusia baru saja berniat, Allah perintahkan malaikat untuk segera mencatat satu pahala atas niatnya.
Tapi tidak dengan perbuatan jahat yang dengan kemurahan-Nya, Allah tunda catatan itu, hingga ia benar-benar melakukannya. Setidaknya, isra mi’raj mengajarkan kita, hamba Allah, umat Rasulullah untuk menanam niat baik dan menunai ganjaran pahala dari-Nya. Wallahu a’lam