Wamendikbud bidang Kebudayaan Wiendu Nuryanti, mengatakan film adalah ekspresi budaya yang dapat membangun karakter bangsa. Namun, masih banyak film tidak berkualitas bermunculan. Dia menyebutkan, film murahan itu seperti film horor berbau seks atau komedi seks yang sangat merusak moral dan karakter.
Guru Besar Arsitektur UGM ini menjelaskan, untuk mendorong munculnya film berkualitas, Kemendikbud juga akan menggelar penghargaan Apresiasi Film Indonesia (AFI). Sedangkan film-film yang akan diperlombakan dalam AFI ialah yang selaras dengan tema AFI, yakni Nilai Budaya, Kearifan Lokal dan Pembangunan Karakter Bangsa.
Film yang dapat menjadi peserta ialah, film yang diproduksi dalam kurun waktu dua tahun. Pendaftaran film dimulai pada 5 Oktober-27 Oktober, penjurian 29 Oktober-14 November, dan malam anugerah akan digelar pada 25 November mendatang.
Dalam perkembangannya, industri film sejak tahun 1990-an mengalami masa suram, sehingga menyebabkan para penulis skenario dan produser film bertindak pragmatis dengan mengedepankan selera pasar dan mengabaikan mutu.
Wiendu mengungkapkan, film-film yang membodohkan dan membuat bangsa ini dianggap bangsa primitif, karena tidak mampu membuat film dengan baik akan dibatasi lomba penulisan skenario film cerita anak, nasionalisme, dan kepahlawanan. Total hadiah penulisan skenario ini sejumlah Rp180 juta, di mana praktisi perfilman dan masyarakat umum pun dapat mengikuti.
Pemerintah juga akan menyebar luaskan film-film berkualitas untuk ditayangkan di kawasan 3 T (Tertinggal, Terluar, Terpencil) dengan program Fasilitasi Biora. Kemendikbud akan membeli lisensi film seperti Negeri 5 Menara, Laskar Pelangi, Garuda di Dadaku, Sang Pemimpi, dan atau Ayat-Ayat Cinta, dan memutarnya dengan 20 mobil sinema ke kawasan 3 T ini. Dia memercayai, peredaran film berkualitas dapat membangun pendidikan karakter bangsa.
“Saya percaya film dapat menjadi media strategis untuk mentransformasikan inspirasi bagi generasi muda,” jelas Wiendu.
Wakil Ketua LSF Nunus Supardi, menyatakan pihaknya sudah melakukan pendekatan kepada semua produser untuk membuat keseimbangan peredaran film mainstream dan tidak. Hasilnya setelah 2010, peredaran film horor, kekerasan, dan berbau seks menurun signifikan.
Sutradara Dedi Setiadi berpendapat, bisnis film memang tidak dapat dipisahkan dari film-film mainstream yang tidak berkualitas. Padahal pada era 1980-an perfilman Indonesia sempat memiliki sejarah gemilang di Tanah Air, di mana banyak film Indonesia merajai bioskop-bioskop lokal.
Dia pun menyesali peredaran film-film berkualitas tidak tersosialisasi dengan baik, sehingga generasi muda saat inipun hanya mengenal film-film horor, seks dan kekerasan saja.
“Saya pun merasakannya. Tidak memilih menyutradarai film mainstream itu lebih banyak nganggurnya,” ujar Dedi.
http://kloneng.com/pemerintah-akan-larang-film-horor-berbau-seks.htm